Jumat, 15 Oktober 2010

Wahai... Dinda...



















Dinda… … …
Tak terasa perjalanan waktu telah mengubahmu. Kini kau sungguh berbeda dengan yang dulu. Dulu kau hanyalah gadis kecil lucu yang terlihat menggemaskan saat mengenakan pita-pita dirambutmu serta rok-rok mini dengan corak penuh keceriaan. Dinda...aku masih sangat ingat saat kita bersama-sama mencoba perlengkapan make up bunda serta mencoba satu demi satu sepatu berhak tinggi kemudian kita bergantian berlenggak-lenggok di depan cermin. Kita sama-sama merasa cantik kala itu. Dinda aku juga masih sangat ingat saat kau menyarankan aku agar aku menjadi penata rias kemudian kau memintaku untuk merias wajahmu dan menghias rambutmu dengan kembang sepatu yang kita petik bersama di taman rumah kita. Dinda...kini...itu semua telah menjadi kenangan indah yang tak mungkin dapat aku lupa. Dinda...kenangan itu sungguh berharga dan kuharap kau juga tak akan pernah melupakannya.

Dinda...apakah kau juga masih ingat tangismu dan bentakkan dariku saat kita bertengkar dulu? Masihkah kau menyimpan suara marahku jika aku menyalahkanmu atas kenakalan yang kau lakukan atau terkadang aku yang mencari-cari kesalahanmu agar mampu menjadi yang paling berkuasa diantara kita?
Dinda...aku rindu saat-saat itu, saat dimana tanah liat terlihat seperti tepung dimata kita, saat lumpur terlihat seperti adonan kue lezat yang kita masak diatas tungku yang tak ada apinya namun...imajinasi kita mampu membuatnya nampak berkobar dan mematangkan adonan kue kita.

Dinda... perjalanan waktu telah sedikit demi sedikit mendewasakan aku. Hingga kau menganggap aku tak lagi sayang padamu karena aku selalu tak mau saat kau ajak bermain adonan tanah liat seperti dulu.

Dinda...kini perjalanan waktu juga telah mengubah seluruh yang ada di jiwa dan ragamu. Kini...kau menjelma menjadi bidadari cantik. Bidadari yang seringkali membuatku takut. Bukan... ketakutanku bukan karena ku khawatir kau akan menyaingiku. Karena kutahu dan sadar walau bagaimanapun aku tak akan mampu menyaingimu. Dinda...tahukah kamu apa yang membuatku selalu takut? Aku selalu takut melihatmu terluka. Aku selalu takut melihatmu sengsara.

Dinda...kau pasti masih ingat saat kau menanyakan kain penutup kepala yang aku kenakan? Waktu itu kau masih sangat lucu dan lugu. Sedangkan aku sudah memulai fase remajaku. Kala itu kau bertanya ”Kakak...kenapa Kakak memakai kerudung?” Saat itu aku hanya mampu tersenyum sambil berkata padamu ”Kakak memakainya karena ini adalah kewajiban kita yang utama, suatu saat nanti kau juga harus memakainya!” lalu kau menjawab dengan polosnya ”Kalau tidak memangnya kenapa?” aku menjawab dengan kalimat yang terkesan terlalu menakuti ”Kau akan jadi penghuni neraka!”

Dinda...kini kau mengerti bahwa kau bukan kau yang dulu lagi. Kalau dulu kau terlihat lucu dengan pita-pita dirambutmu serta rok-rok pendek yang bercorak ceria. Kini...kau pasti akan lebih cantik jika mengenakan pakaian kebanggaan muslimah. Pakaian yang mampu menyimpan rapi mahkota dan permata paling berharga yang engkau miliki. Dinda...jika dulu orang selalu gemas melihat pipimu...kini...tidakkah kau sadari bahwa pipi dan wajah itu mampu menjadikan para pria diluar sana terpesona karena cantiknya? Dinda...jika dulu lincah tubuhmu selalu mendatangkan gelak tawa bagi siapa yang melihatnya, kini...tubuhmu telah berlekuk. Dan tahukah kamu lekuk itu mampu membuat pria berkeinginan dalam hatinya? Dinda...kau pasti tak mau kan jika mahkota dan permata yang paling berharga milik dirimu itu dirampas oleh tangan-tangan yang tak layak menyentuhnya? Dan dilihat dengan seenaknya oleh mata-mata yang haram untuk melihatnya.

Dinda...kau adalah adikku yang sangat cerdas, kau pasti mampu mengerti dengan mudah akan apa yang aku tuliskan ini. Akan tetapi lebih dari sekedar yang kau baca di atas tadi. Aku ingin kau mengerti pula esensimu di dunia. Aku ingin kita bersama-sama mempelajarinya. Seperti halnya saat dulu kita bersama-sama membuat adonan tanah liat yang seolah menjadi adonan kue lezat dalam imajinasi kita. Tapi...kini aku ingin kita belajar bersama-sama dengan menggunakan syariah yang ada bukan semata-mata imajinasi yang kita gubah hanya untuk kesenangan semu belaka.

Dinda...aku ingin kita bersama-sama mencoba mentadzaburi kalam-kalamNya yang sungguh Indah. Seperti halnya saat dulu... saat kita bersama-sama mencoba make up bunda pada wajah kita. Dinda...aku ingin kita bersama-sama mempertinggi keikhlasan dan kesabaran kita... seperti halnya saat dulu... saat kita mempertinggi kaki mungil kita dengan memakai sepatu-sepatu tinggi ibu. Dinda...jika dulu kau menyarankanku agar menjadi penata rias wajah dan rambutmu, kini...izinkanlah aku menyarankanmu agar kau menjadi yang terbaik untuk dirimu. Jika dulu kita selalu memetik kembang sepatu di taman rumah kita, kini... aku ingin sekali mengajakmu untuk bersama denganku memetik hikmah dibalik segenap peristiwa.

Dinda...akan tetapi aku tak ingin lagi memarahimu seperti dulu. Karena yang kini aku inginkan hanyalah mengajakmu ikut serta denganku. Dinda... aku tak pula ingin kau menangis seperti dulu. Karena yang aku inginkan hanyalah kau tersenyum seraya menganggukkan kepala dengan tawaran yang telah aku sampaikan. Dinda... aku juga tak ingin meninggalkanmu bermain sendiri seperti dulu. Namun yang kuinginkan kini... kita bersama... selalu bersama melawan segenap permainan dunia.

1 komentar:

  1. walo ga punya adik cewe,, tp aku tulis note ini untuk seorg teman..
    dia curhat ke aku tantang adiknya... semoga saja bisa bermanfaat amiin...

    BalasHapus