Kamis, 21 Oktober 2010

No tittle















tanpa judul
oleh Ummu Tsabita Azmi Zahira pada 17 Mei 2010 jam 19:52


Aku ingin mencintaimu dengan cara yang sederhana
Amat sederhana… tak seistimewa cintaku pada Alloh dan RasulNya…
Aku ingin mencintaimu dengan cara yang sederhana…
Sesederhana angin yang berdecak didedaunan lemah… hingga membawa ketentraman dalam keheningan
Sesederhana mekarnya edelweis… meski hanya menebar bau tanah dan warna tak secerah dahlia… namun mampu bertahan amat lama…

Aku ingin mencintaimu dengan cara yang amat sederhana…
Sesederhana kayu yang tak mau berkata-kata ketika api membakarnya.. hingga muncul cahaya penentram dalam gulita

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
Sesederhana tetesan hujan yang jatuh membasahi tanah… tanpa menuntut ruang istimewa untuk meluncurkan tetesannya… rela membasahi tiap-tiap permukaan… dari padang rumput hijau penuh bunga… hingga pinggiran jalanan kota penuh limbah

Aku ingin mencintaimu dengan cara yang sederhana…
siapapun dia...
seorang yang telah Alloh pilihkan untukku
seorang yang kini masi menjadi misteri terindah dalam kuasa Nya

TIPS KECANTIKAN (Akhwat Only)

















berikut ada beberapa tips kecantikan yang mungkin bermanfaat bagi anti.. ^_^

1. Tips melentikkan bulu mata
caranya, ambil sebatang tanaman lidah buaya, kemudian diamkan semalam agar getahnya hilang. keesokan harinya tusuk bagian batang lidah buaya dengan menggunakan cuttonbad, lalu oleskan cuttonbad yang telah basah tersebut pada bulu mata. lakukan hal ini tiap pagi hari dan menjelang tidur, Insya Alloh bulu mata ukhti akan panjang dan lentik ^^

2. Tips merawat payudara
ambil buah tomat, cuci bersih kemudian belah, irisan buah tomat tersebut gosok-gosokkan di payudara, terutama bagian puting,setelah digosok-gosok pijat payudara memutar searah jarum jam selama kurang lebih 5 menit, kemudian bilas hingga bersih buah tomat dapat menghaluskan kulit payudara dan mencerahkan warna puting. lakukan tips ini secara rutin dan liat hasilnya.

3. Tips menghilangkan bau badan
jika ukhti mengalami masalah dengan bau badan, berikut merupakan tips yang diberikan oleh nenek saya. caranya : rebus segenggam daun beluntas, 5 lembar daun sirih, asam jawa, dan 100 gram kunyit (iris tipis). rebus dalam 3 gelas air atau sekitar 600ml, kemudian minum secara teratur paling tidak seminggu dua kali. dijamin Insya Alloh bau badan akan musnah ^^

selamat mencoba ukh... ^^

Jumat, 15 Oktober 2010

Pemikir Sejati (Just CERPEN bukan kisah nyata)

Pemikir sejati, itulah sebutan yang mereka tujukan pada diriku ini. Entah mengapa aku dilahirkan dengan otak yang selalu memikirkan masalah secara kompleks, bukan hanya masalah tetapi juga semua benda. Yah… saat melihat sepotong ikan asin yang ditumpangkan diatas nasi hangatku misalnya. Aku tak sertamerta langsung memakannya seperti apa yang terjadi pada ikan-ikan asin lain yang tergelatak kering diatas gundukan nasi panas yang berada di piring kakak-kakakku, bapakku dan ibuku.

Sebelum aku melahap ikan itu, aku terlebih dulu menyelami tragedi yang dialami oleh si ikan asin nan malang ini. Awalnya dia adalah materi berukuran sepersekian mili dengan wujud cairan sperma dan sel telur dari ibu bapaknya, kemudian… ia tumbuh menjadi setitik telur yang entah dimana tempatnya, mungkinkah dibawah batu karang? Ataukah diatas terumbunya atau mungkin melayang-layang di air samudera. Beberapa waktu kemudian telur ikan itu tumbuh menjadi seekor ikan yang berenang dengan kawan-kawan seperjuangan, mengarungi samudera menjelajahi setiap negri dasar bahari dan berkenalan dengan spesies laut lainnya. Akan tetapi naas benar nasib ikan ini, jala nelayan yang dilempar dan tergelar di samudera berhasil memerangkap tubuhnya, hingga ia tak bisa lari, dia merintih....memekik...menjerit...menangis namun tak ada yang mampu menolong karena kawanannya juga bernasib sama, terjerat dalam jaring dan hanya bisa melonglong tanpa suara karena tak ada satupun manusia yang bisa mendengar jeritannya. Setelah jaring berisi si ikan ini dan ratusan kawanannya diangkat ke atas kapal, para nelayan itu dengan bringasan menempatkan mereka kedalam drum-drum tanpa air, membuat si ikan malang sekarat, sesak napas dan akhirnya arwahnya menghadap Sang Pencipta. Tapi nasib tak sampai disitu, nelayan menyandarkan kapalnya ke dermaga dan menjual si ikan dan kawanan ikan lain yang berada dalam drum-drum kepada para pedagang dengan harga yang jauh dibawah ikan pindang, ikan caek katanya anyir tak bernilai bahkan seember harganya sama dengan serantang ikan pindang. Ikan caek juga disebut sebagai ikan krismon karena menjadi tersohor saat krisis melanda negri dan ia dijadikan santapan diatas meja makan rumah-rumah berbilik kardus, kayu dan bambu.

Tapi masih syukur jika si caek yang berpindah tangan pada pedagang langsung dibeli oleh pembeli dan dimasak selagi segar. Tapi… karena jumlah kawanannya yang berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar jiwa di dalam samudera, membuat si caek tak langsung laku. Terlalu banyak caek di dalam drum-drum pasar ikan sehingga sekalipun ikan ini banyak dibeli tetap saja tak langsung habis begitu saja. Akhirnya si pedagang membawanya ke pabrik pengolahan ikan asin untuk diawetkan dengan butiran yang bernama garam. Ehm… andai saja si caek ini langsung laku saat jasadnya masih segar tentu perjalanan materinya tak terlalu panjang. Saat si pembeli mengeluarkan isi perut si caek kemudian si caek dicuci dan di goreng dalam minyak panas, lantas dijadikan santapan nikmat, nah… jika saja nasibnya begitu pasti si caek akan mengalami perjalanan yang lebih singkat. Lebih cepat menjadi feses kemudian masuk ke lubang kakus dan menguap melalui pipa sirkulasi WC, akhirnya si caek tak lagi bermateri, dia hampa…dia sepi…dia tak ada…namun masih tetap berarti… berarti berkat jasa-jasanya yang telah membuat sebuah perhelatan panjang, perhelatan nelayan, pasar ikan, pasar tradisional, makanan dan pembuangan.

Akan tetapi tak demikian yang terjadi, si caek tak langsung dimasak selagi segar, dan itu tentu membuat rentetan pikiranku lebih panjang. Dan kini… aku ingin pikiranku kembali pada nasib si caek dalam tragedi pengasinan tadi.

Tubuh si caek dirobek menjadi dua bagian, hingga membuat tulang lunaknya berada di salah satu bagian. Kemudian si caek dilumuri butiran garam. Ditelungkupkan diatas tampah. Dijemur berhari-hari dibawah terik sinar matahari. Dibolak-balik...dijemur lagi...dibolak-balik...dijemur lagi. Hingga si caek benar-benar menjadi ikan asin sejati...ikan asin yang benar-benar kering dan siap untuk dipasarkan.

Masih dengan kawanan caek lain, dan tentunya ditempat pengasinan itu caek yang ada berasal dari berbagai penjuru, meski bukan penjuru dunia, tapi...kebanyakan dari mereka tak saling mengenal semasa hidupnya. Mereka disatukan setelah menjadi ikan asin, dipenat-penat ke dalam karung atau kantong plastik, ditimbang dan dijual kepada para pedagang pasar yang siap mengecernya pada ibu-ibu rumah tangga dengan budget belanja di bawah rata-rata.

Saat tiba dipasar, si pedagang dengan suara peratnya dan logat khas promosi pasar tradisional, berulang kali memuji-muji caek ini ”ikan asin baru kulak, rasanya gurih dan murah sekali” dan dengan selembar uang seribu rupiah ibuku membelinya. Seribu rupiah mendapatkan sepuluh ekor ikan caek asin. Sepuluh ikan caek itu akan dijadikan menu sarapan dan makan siang.

Pagi ini lima ikan caek telah digoreng. Subuh tadi ibu menggorengnya didalam minyak jelantah bekas menggoreng ikan teri kemarin. Kelima caek goreng itu baru saja ada di meja, satu ekor dipiring ibu, satu ekor di piring bapak, di piring dua abangku masing-masing satu, dan satu lagi dipiringku. Dan hanya caek yang ada dipiringku ini yang belum mengalami wisata pencernaan, selebihnya atau empat kawannya yang ada di piring abang-abangku dan piring bapak ibu telah atau sedang mengalami perjalanan itu.

”Hey... sudah mikirnya! Cepat makan sarapanmu, si ikan caek sudah menunggu untuk masuk kedalam mulutmu!”
Ibu menggertakku untuk yang ke... tujuh dikali tiga ratus enam puluh lima hari kemudian dikali tiga kali (sarapan, makan siang dan makan malam) hasilnya 7.665 yah sudah 7.665 kali aku melakukan aktifitas ini, sudah tujuh tahun aku jadi pemikir sejati. Pemikir sejati yang mengawali kariernya saat berumur enam tahun.

Mereka bilang perjalanan karierku sebagai pemikir sejati sama sekali tak berarti bahkan ibuku sendiri sangat geli dengan kebiasaanku ini. Aku tak mengeti mengapa mereka bisa bilang begitu. Ehm... padahal andai saja mereka tahu, betapa nikmatnya menjadi pemikir sejati. Pemikir yang menyelami segenap kejadian yang terjadi hingga akhirnya rentetan kejadian itulah yang membuatku merasakan kenikmatan... kenikmatan yang tersajikan dihadapanku. Dan sajian kenikmatan itu adalah riski yang Ia beri, dan selalu... diujung pemikiranku aku ucapkan rasa syukurku.

”Gleg’ suara air yang mendorong si ikan caek asin menggema di kerongkonganku. Alhamdulillah... setelah sekian panjang perjalananmu... kini akhirnya kau akan sejenak berlabuh dalam wisata pencernaanku, esok hari kau akan kutemui lagi dalam keadaan kuning padat, namun pertemuan kita hanya sesaat... karena aku harus membuangmu masuk kedalam lubang kakusku, setelah itu rampung sudah tugasmu, tunai sudah perhelatan yang terjadi karenamu. Kau akan menguap... menjadi nonmateri yang tak lagi berenang...menginjak ataupun terkapar kering berbau anyir.

Wahai... Dinda...



















Dinda… … …
Tak terasa perjalanan waktu telah mengubahmu. Kini kau sungguh berbeda dengan yang dulu. Dulu kau hanyalah gadis kecil lucu yang terlihat menggemaskan saat mengenakan pita-pita dirambutmu serta rok-rok mini dengan corak penuh keceriaan. Dinda...aku masih sangat ingat saat kita bersama-sama mencoba perlengkapan make up bunda serta mencoba satu demi satu sepatu berhak tinggi kemudian kita bergantian berlenggak-lenggok di depan cermin. Kita sama-sama merasa cantik kala itu. Dinda aku juga masih sangat ingat saat kau menyarankan aku agar aku menjadi penata rias kemudian kau memintaku untuk merias wajahmu dan menghias rambutmu dengan kembang sepatu yang kita petik bersama di taman rumah kita. Dinda...kini...itu semua telah menjadi kenangan indah yang tak mungkin dapat aku lupa. Dinda...kenangan itu sungguh berharga dan kuharap kau juga tak akan pernah melupakannya.

Dinda...apakah kau juga masih ingat tangismu dan bentakkan dariku saat kita bertengkar dulu? Masihkah kau menyimpan suara marahku jika aku menyalahkanmu atas kenakalan yang kau lakukan atau terkadang aku yang mencari-cari kesalahanmu agar mampu menjadi yang paling berkuasa diantara kita?
Dinda...aku rindu saat-saat itu, saat dimana tanah liat terlihat seperti tepung dimata kita, saat lumpur terlihat seperti adonan kue lezat yang kita masak diatas tungku yang tak ada apinya namun...imajinasi kita mampu membuatnya nampak berkobar dan mematangkan adonan kue kita.

Dinda... perjalanan waktu telah sedikit demi sedikit mendewasakan aku. Hingga kau menganggap aku tak lagi sayang padamu karena aku selalu tak mau saat kau ajak bermain adonan tanah liat seperti dulu.

Dinda...kini perjalanan waktu juga telah mengubah seluruh yang ada di jiwa dan ragamu. Kini...kau menjelma menjadi bidadari cantik. Bidadari yang seringkali membuatku takut. Bukan... ketakutanku bukan karena ku khawatir kau akan menyaingiku. Karena kutahu dan sadar walau bagaimanapun aku tak akan mampu menyaingimu. Dinda...tahukah kamu apa yang membuatku selalu takut? Aku selalu takut melihatmu terluka. Aku selalu takut melihatmu sengsara.

Dinda...kau pasti masih ingat saat kau menanyakan kain penutup kepala yang aku kenakan? Waktu itu kau masih sangat lucu dan lugu. Sedangkan aku sudah memulai fase remajaku. Kala itu kau bertanya ”Kakak...kenapa Kakak memakai kerudung?” Saat itu aku hanya mampu tersenyum sambil berkata padamu ”Kakak memakainya karena ini adalah kewajiban kita yang utama, suatu saat nanti kau juga harus memakainya!” lalu kau menjawab dengan polosnya ”Kalau tidak memangnya kenapa?” aku menjawab dengan kalimat yang terkesan terlalu menakuti ”Kau akan jadi penghuni neraka!”

Dinda...kini kau mengerti bahwa kau bukan kau yang dulu lagi. Kalau dulu kau terlihat lucu dengan pita-pita dirambutmu serta rok-rok pendek yang bercorak ceria. Kini...kau pasti akan lebih cantik jika mengenakan pakaian kebanggaan muslimah. Pakaian yang mampu menyimpan rapi mahkota dan permata paling berharga yang engkau miliki. Dinda...jika dulu orang selalu gemas melihat pipimu...kini...tidakkah kau sadari bahwa pipi dan wajah itu mampu menjadikan para pria diluar sana terpesona karena cantiknya? Dinda...jika dulu lincah tubuhmu selalu mendatangkan gelak tawa bagi siapa yang melihatnya, kini...tubuhmu telah berlekuk. Dan tahukah kamu lekuk itu mampu membuat pria berkeinginan dalam hatinya? Dinda...kau pasti tak mau kan jika mahkota dan permata yang paling berharga milik dirimu itu dirampas oleh tangan-tangan yang tak layak menyentuhnya? Dan dilihat dengan seenaknya oleh mata-mata yang haram untuk melihatnya.

Dinda...kau adalah adikku yang sangat cerdas, kau pasti mampu mengerti dengan mudah akan apa yang aku tuliskan ini. Akan tetapi lebih dari sekedar yang kau baca di atas tadi. Aku ingin kau mengerti pula esensimu di dunia. Aku ingin kita bersama-sama mempelajarinya. Seperti halnya saat dulu kita bersama-sama membuat adonan tanah liat yang seolah menjadi adonan kue lezat dalam imajinasi kita. Tapi...kini aku ingin kita belajar bersama-sama dengan menggunakan syariah yang ada bukan semata-mata imajinasi yang kita gubah hanya untuk kesenangan semu belaka.

Dinda...aku ingin kita bersama-sama mencoba mentadzaburi kalam-kalamNya yang sungguh Indah. Seperti halnya saat dulu... saat kita bersama-sama mencoba make up bunda pada wajah kita. Dinda...aku ingin kita bersama-sama mempertinggi keikhlasan dan kesabaran kita... seperti halnya saat dulu... saat kita mempertinggi kaki mungil kita dengan memakai sepatu-sepatu tinggi ibu. Dinda...jika dulu kau menyarankanku agar menjadi penata rias wajah dan rambutmu, kini...izinkanlah aku menyarankanmu agar kau menjadi yang terbaik untuk dirimu. Jika dulu kita selalu memetik kembang sepatu di taman rumah kita, kini... aku ingin sekali mengajakmu untuk bersama denganku memetik hikmah dibalik segenap peristiwa.

Dinda...akan tetapi aku tak ingin lagi memarahimu seperti dulu. Karena yang kini aku inginkan hanyalah mengajakmu ikut serta denganku. Dinda... aku tak pula ingin kau menangis seperti dulu. Karena yang aku inginkan hanyalah kau tersenyum seraya menganggukkan kepala dengan tawaran yang telah aku sampaikan. Dinda... aku juga tak ingin meninggalkanmu bermain sendiri seperti dulu. Namun yang kuinginkan kini... kita bersama... selalu bersama melawan segenap permainan dunia.