Pemikir sejati, itulah sebutan yang mereka tujukan pada diriku ini. Entah mengapa aku dilahirkan dengan otak yang selalu memikirkan masalah secara kompleks, bukan hanya masalah tetapi juga semua benda. Yah… saat melihat sepotong ikan asin yang ditumpangkan diatas nasi hangatku misalnya. Aku tak sertamerta langsung memakannya seperti apa yang terjadi pada ikan-ikan asin lain yang tergelatak kering diatas gundukan nasi panas yang berada di piring kakak-kakakku, bapakku dan ibuku.
Sebelum aku melahap ikan itu, aku terlebih dulu menyelami tragedi yang dialami oleh si ikan asin nan malang ini. Awalnya dia adalah materi berukuran sepersekian mili dengan wujud cairan sperma dan sel telur dari ibu bapaknya, kemudian… ia tumbuh menjadi setitik telur yang entah dimana tempatnya, mungkinkah dibawah batu karang? Ataukah diatas terumbunya atau mungkin melayang-layang di air samudera. Beberapa waktu kemudian telur ikan itu tumbuh menjadi seekor ikan yang berenang dengan kawan-kawan seperjuangan, mengarungi samudera menjelajahi setiap negri dasar bahari dan berkenalan dengan spesies laut lainnya. Akan tetapi naas benar nasib ikan ini, jala nelayan yang dilempar dan tergelar di samudera berhasil memerangkap tubuhnya, hingga ia tak bisa lari, dia merintih....memekik...menjerit...menangis namun tak ada yang mampu menolong karena kawanannya juga bernasib sama, terjerat dalam jaring dan hanya bisa melonglong tanpa suara karena tak ada satupun manusia yang bisa mendengar jeritannya. Setelah jaring berisi si ikan ini dan ratusan kawanannya diangkat ke atas kapal, para nelayan itu dengan bringasan menempatkan mereka kedalam drum-drum tanpa air, membuat si ikan malang sekarat, sesak napas dan akhirnya arwahnya menghadap Sang Pencipta. Tapi nasib tak sampai disitu, nelayan menyandarkan kapalnya ke dermaga dan menjual si ikan dan kawanan ikan lain yang berada dalam drum-drum kepada para pedagang dengan harga yang jauh dibawah ikan pindang, ikan caek katanya anyir tak bernilai bahkan seember harganya sama dengan serantang ikan pindang. Ikan caek juga disebut sebagai ikan krismon karena menjadi tersohor saat krisis melanda negri dan ia dijadikan santapan diatas meja makan rumah-rumah berbilik kardus, kayu dan bambu.
Tapi masih syukur jika si caek yang berpindah tangan pada pedagang langsung dibeli oleh pembeli dan dimasak selagi segar. Tapi… karena jumlah kawanannya yang berjuta-juta bahkan bermilyar-milyar jiwa di dalam samudera, membuat si caek tak langsung laku. Terlalu banyak caek di dalam drum-drum pasar ikan sehingga sekalipun ikan ini banyak dibeli tetap saja tak langsung habis begitu saja. Akhirnya si pedagang membawanya ke pabrik pengolahan ikan asin untuk diawetkan dengan butiran yang bernama garam. Ehm… andai saja si caek ini langsung laku saat jasadnya masih segar tentu perjalanan materinya tak terlalu panjang. Saat si pembeli mengeluarkan isi perut si caek kemudian si caek dicuci dan di goreng dalam minyak panas, lantas dijadikan santapan nikmat, nah… jika saja nasibnya begitu pasti si caek akan mengalami perjalanan yang lebih singkat. Lebih cepat menjadi feses kemudian masuk ke lubang kakus dan menguap melalui pipa sirkulasi WC, akhirnya si caek tak lagi bermateri, dia hampa…dia sepi…dia tak ada…namun masih tetap berarti… berarti berkat jasa-jasanya yang telah membuat sebuah perhelatan panjang, perhelatan nelayan, pasar ikan, pasar tradisional, makanan dan pembuangan.
Akan tetapi tak demikian yang terjadi, si caek tak langsung dimasak selagi segar, dan itu tentu membuat rentetan pikiranku lebih panjang. Dan kini… aku ingin pikiranku kembali pada nasib si caek dalam tragedi pengasinan tadi.
Tubuh si caek dirobek menjadi dua bagian, hingga membuat tulang lunaknya berada di salah satu bagian. Kemudian si caek dilumuri butiran garam. Ditelungkupkan diatas tampah. Dijemur berhari-hari dibawah terik sinar matahari. Dibolak-balik...dijemur lagi...dibolak-balik...dijemur lagi. Hingga si caek benar-benar menjadi ikan asin sejati...ikan asin yang benar-benar kering dan siap untuk dipasarkan.
Masih dengan kawanan caek lain, dan tentunya ditempat pengasinan itu caek yang ada berasal dari berbagai penjuru, meski bukan penjuru dunia, tapi...kebanyakan dari mereka tak saling mengenal semasa hidupnya. Mereka disatukan setelah menjadi ikan asin, dipenat-penat ke dalam karung atau kantong plastik, ditimbang dan dijual kepada para pedagang pasar yang siap mengecernya pada ibu-ibu rumah tangga dengan budget belanja di bawah rata-rata.
Saat tiba dipasar, si pedagang dengan suara peratnya dan logat khas promosi pasar tradisional, berulang kali memuji-muji caek ini ”ikan asin baru kulak, rasanya gurih dan murah sekali” dan dengan selembar uang seribu rupiah ibuku membelinya. Seribu rupiah mendapatkan sepuluh ekor ikan caek asin. Sepuluh ikan caek itu akan dijadikan menu sarapan dan makan siang.
Pagi ini lima ikan caek telah digoreng. Subuh tadi ibu menggorengnya didalam minyak jelantah bekas menggoreng ikan teri kemarin. Kelima caek goreng itu baru saja ada di meja, satu ekor dipiring ibu, satu ekor di piring bapak, di piring dua abangku masing-masing satu, dan satu lagi dipiringku. Dan hanya caek yang ada dipiringku ini yang belum mengalami wisata pencernaan, selebihnya atau empat kawannya yang ada di piring abang-abangku dan piring bapak ibu telah atau sedang mengalami perjalanan itu.
”Hey... sudah mikirnya! Cepat makan sarapanmu, si ikan caek sudah menunggu untuk masuk kedalam mulutmu!”
Ibu menggertakku untuk yang ke... tujuh dikali tiga ratus enam puluh lima hari kemudian dikali tiga kali (sarapan, makan siang dan makan malam) hasilnya 7.665 yah sudah 7.665 kali aku melakukan aktifitas ini, sudah tujuh tahun aku jadi pemikir sejati. Pemikir sejati yang mengawali kariernya saat berumur enam tahun.
Mereka bilang perjalanan karierku sebagai pemikir sejati sama sekali tak berarti bahkan ibuku sendiri sangat geli dengan kebiasaanku ini. Aku tak mengeti mengapa mereka bisa bilang begitu. Ehm... padahal andai saja mereka tahu, betapa nikmatnya menjadi pemikir sejati. Pemikir yang menyelami segenap kejadian yang terjadi hingga akhirnya rentetan kejadian itulah yang membuatku merasakan kenikmatan... kenikmatan yang tersajikan dihadapanku. Dan sajian kenikmatan itu adalah riski yang Ia beri, dan selalu... diujung pemikiranku aku ucapkan rasa syukurku.
”Gleg’ suara air yang mendorong si ikan caek asin menggema di kerongkonganku. Alhamdulillah... setelah sekian panjang perjalananmu... kini akhirnya kau akan sejenak berlabuh dalam wisata pencernaanku, esok hari kau akan kutemui lagi dalam keadaan kuning padat, namun pertemuan kita hanya sesaat... karena aku harus membuangmu masuk kedalam lubang kakusku, setelah itu rampung sudah tugasmu, tunai sudah perhelatan yang terjadi karenamu. Kau akan menguap... menjadi nonmateri yang tak lagi berenang...menginjak ataupun terkapar kering berbau anyir.